Advertisement
Lampung – Keputusan Polda Lampung menghentikan penyidikan kasus dugaan mafia tanah di Desa Malangsari, Lampung Selatan, menimbulkan tanda tanya besar dan sorotan publik.
Pasalnya, perkara ini sebelumnya mendapat perhatian serius Presiden Joko Widodo dan Komisi III DPR RI, bahkan sempat digadang sebagai pilot project pemberantasan mafia tanah di Indonesia.
Advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH-98), Habibi Marga Semenguk, meminta Polda Lampung untuk terbuka dan menjelaskan dasar hukum penghentian perkara tersebut.
“Kami mendesak Kapolda Lampung segera menjelaskan apa yang menjadi dasar pemberhentian perkara ini. Publik berhak tahu. Kalau alasannya transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, kami para aktivis akan apresiasi, bahkan angkat topi,” tegas Habibi, Sabtu (20/9/2025).
Kasus mafia tanah Malangsari menyeret banyak pihak, mulai dari pensiunan Polri berinisial SJO, Kepala Desa SYT, Camat SHN, juru ukur BPN Lampung Selatan FBM, hingga seorang PPAT berinisial RA. Mereka sudah diproses hukum dan divonis sesuai perannya masing-masing.
Namun, perkara yang melibatkan seorang jaksa berinisial AM justru mandek. Padahal, eks Direktur Ditkrimum Polda Lampung Kombes Reynold Hutagalung pernah menyebut AM membeli lahan 10 hektare dari SJO seharga Rp900 juta, meski tanah tersebut sudah dikuasai warga.
Transaksi itu diduga kuat menggunakan dokumen palsu, mulai dari surat keterangan, akta jual beli, hingga sertifikat hak milik.
Kasus Malangsari sempat menjadi perhatian nasional. Pada November 2022, Komisi III DPR RI yang dipimpin Taufik Basari turun langsung ke Lampung dan menyebut kasus ini sebagai contoh nyata untuk memberantas mafia tanah.
Namun kini, keputusan Polda Lampung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi tersangka AM justru menimbulkan kesan tebang pilih.
“Kenapa perkara AM yang sudah ditetapkan tersangka justru dihentikan? Jangan sampai penegakan hukum terkesan pilih kasih,” ujar Habibi.
Habibi juga mengingatkan, Kapolda Lampung Irjen Pol Helmy Santika pernah menerima penghargaan Pin Emas dari Kementerian ATR/BPN tahun 2024 karena keberhasilannya memberantas mafia tanah.
“Kalau Polda Lampung berani terbuka soal alasan SP3 ini, justru bisa menjadi preseden positif dan bentuk terobosan hukum. Itu akan membuat kami apresiasi penuh,” tambahnya.
Kasus mafia tanah sendiri telah menjadi atensi khusus Presiden Jokowi sejak 2021. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan memerintahkan jajarannya untuk menindak tegas mafia tanah dan memastikan hak masyarakat dikembalikan.
Kini, publik menunggu penjelasan resmi Polda Lampung mengenai alasan hukum di balik penghentian kasus Malangsari yang selama ini dianggap sebagai simbol perang melawan mafia tanah.
Seirama dengan YLBH-98, Ketua DPW Advokat Bela Rakyat Indonesia (ABR-I) Lampung, Mulyadi Yansyah, juga menyoroti keputusan SP3 yang dikeluarkan Polda Lampung.
"Kami di ABR-I melihat kasus Malangsari ini sebagai ujian besar dalam penegakan hukum melawan mafia tanah. Jika ada tersangka yang sudah jelas status hukumnya tapi perkara dihentikan, maka akan timbul kesan hukum bisa dipermainkan. Kapolda harus menjelaskan dasar keputusannya agar publik tidak merasa dikhianati,” ujar Mulyadi.
Ia menegaskan, mafia tanah bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga persoalan sosial yang menghancurkan sendi kehidupan masyarakat.
Tidak hanya itu, Mulyadi Yansyah, praktik mafia tanah seperti di Malangsari menimbulkan dampak luas bagi masyarakat diantaranya Warga kehilangan hak atas tanahnya meski telah menguasai puluhan tahun, terjadi konflik horizontal, termasuk bentrok antarwarga yang sama-sama merasa memiliki hak.
"Rantai ekonomi desa terganggu karena lahan produktif berpindah tangan secara ilegal, menurunnya kepercayaan publik pada hukum, karena masyarakat melihat ada pihak yang dilindungi, serta Investasi dan pembangunan terhambat, sebab ketidakpastian hukum atas tanah membuat investor enggan masuk," pungkasnya. (Red)